PAI dan Kompetensi Abad 21: Menyatukan Iman, Ilmu, dan Teknologi

0
IMG-20250905-WA0009

Salatiga, Jateng [SKN] – Pendidikan Agama Islam (PAI) sering dipandang hanya sebagai penguat iman dan moral, padahal dalam konteks abad 21, terdengar jauh lebih kompleks. Kehadiran teknologi digital, globalisasi, dan tuntutan kompetensi baru menempatkan PAI pada posisi strategis sekaligus rawan kritik. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah PAI mampu menjadi ruang yang menyatukan iman, ilmu, dan teknologi, atau justru tertinggal dalam rutinitas pengajaran normatif yang kaku.

Hal tersebut disampaikan Badrus Zaman MPd.I Dosen UIN Salatiga, pada Jum’at ((5/9/2025) Kelemahan utama PAI saat ini terletak pada keterlambatannya beradaptasi dengan logika abad 21. Di banyak sekolah, pembelajaran agama masih identik dengan hafalan ayat, hadis, dan hukum fikih, tanpa elaborasi kritis yang relevan dengan kenyataan kontemporer. Generasi muda akhirnya mengalami jurang antara apa yang mereka pelajari di ruang kelas dengan apa yang mereka hadapi di dunia nyata. Ketika anak-anak tumbuh dengan gawai di tangan, PAI tidak cukup sekedar mengajarkan dalil, tetapi juga harus mengajarkan bagaimana dalil itu memandu perilaku dalam ekosistem digital yang penuh godaan dan manipulasi.

“Tantangan lain adalah keputusan PAI dari tradisi ilmu pengetahuan. Sejarah Islam menunjukkan integrasi antara iman dan ilmu melahirkan peradaban besar pada masa keemasan. Namun, di era modern, PAI sering dipisahkan dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seolah-olah agama dan ilmu adalah dua kutub yang tidak bisa dipertemukan. Kondisi ini mengerdilkan potensi PAI untuk menanamkan nilai-nilai etis dalam inovasi teknologi. Padahal, kompetensi abad 21 seperti literasi data, kecerdasan buatan, dan komunikasi global sangat membutuhkan etika yang kokoh agar tidak jatuh pada perlindungan,”ucapnya 

Meski begitu, PAI menyimpan peluang besar untuk menjadi jembatan antara iman, ilmu, dan teknologi. Jika dikelola dengan visi transformatif, PAI dapat menjadi laboratorium etika digital, tempat peserta didik belajar berpikir kritis tentang konten yang mereka konsumsi dan produksi. PAI dapat menanamkan kesadaran bahwa inovasi teknologi tanpa moralitas akan berakhir pada krisis kemanusiaan, sementara iman yang lepas dari penguasaan teknologi hanya akan melahirkan keterpinggiran. Integrasi ini dapat mengembalikan keseimbangan yang hilang dalam pendidikan modern.

“Namun peluang itu menuntut reformasi serius pada kurikulum dan pedagogi PAI. Kurikulum harus bergerak dari transfer pengetahuan pembelajaran berbasis penelitian, pemecahan masalah menuju, dan proyek kolaboratif. Peserta didorong untuk memanfaatkan teknologi dalam membuat konten dakwah kreatif, mengembangkan aplikasi berbasis nilai Islam, atau melakukan penelitian sosial yang relevan. Guru PAI dituntut menjadi fasilitator yang tidak hanya menguasai teks, tetapi juga paham literasi digital dan mampu membimbing siswa dalam membangun etika informasi di tengah derasnya arus,” jelasnya

Kritik tajam perlu diarahkan pada sistem pendidikan yang masih memandang PAI sebatas pelengkap formal. Selama PAI tidak diberi ruang inovasi, ia akan terus kalah bersaing dengan mata pelajaran lain yang dianggap lebih “bergengsi” karena menghasilkan keterampilan praktis. Padahal, keterampilan abad 21 tanpa fondasi nilai akan berakhir rapuh. Jika sistem pendidikan terus meminggirkan PAI, yang hilang bukan sekedar jam pelajaran agama, melainkan berorientasi moral seluruh bangunan pendidikan nasional.

“PAI harus diposisikan sebagai inti yang menyatukan iman, ilmu, dan teknologi, bukan pinggiran yang hanya mengurus aspek ritual. Abad 21 membuka peluang untuk menjadikan PAI sebagai pusat integrasi nilai keagamaan dengan kompetensi global. Generasi yang lahir dari sistem semacam ini tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral, adaptif terhadap teknologi, dan siap menghadapi kompleksitas zaman. Persoalannya tinggal: beranikah PAI melakukan lompatan paradigma, atau akan terus berjalan di jalur lama hingga ditinggalkan oleh zaman,” tutupnya

Pewarta : Ali Supratono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *